Kamis, 26 Maret 2015

BERBURU BATU CINCIN



Siang itu, beberapa waktu yang lalu, saya dan kawan-kawan satu kantor berbincang tentang batu cincin yang akhir-akhir ini menjadi salah satu topik pemberitaan dan bahan diskusi di warung-warung sampai di televisi. Pameran batu cincin nusantara beberapa kali digelar bahkan sampai ada majalah khusus tentang batu cincin. Luar biasa! Demam batu cincin di negeri ini agaknya juga melanda daerah kami. Saat ini banyak bermunculan “tukang batu cincin” di pinggir jalan. Ntah kapan pula mereka “berpengalaman” soal batu cincin.

Waktu itu saya berkata bahwa saya mendapat informasi kalau di Desa Tangga Kecamatan Bandar Pulau tepatnya di daerah air terjun Ponot kita bisa menemukan satu atau dua jenis batu cincin. Keterangan saya itu dikuatkan oleh salah seorang kawan yang mengatakan bahwa dia mendengar sendiri kalau salah seorang penduduk Desa Tangga yang sedang menggosokkan batu yang dibawanya kepada pengrajin batu cincin mengatakan kalau batu tersebut berasal dari Desa Tangga tepatnya di sekitar air terjun Ponot. Batunya berwarna merah mirip dengan jenis batu cincin yang kalau tidak salah namanya adalah batu badar merah daging. Karena sudah ada dua pernyataan bahwa di sekitar air terjun Ponot terdapat batu cincin maka kami sepakat untuk “berburu” batu cincin tersebut.

Batu badar merah daging, sumber : juraganbatuakik.blogspot.com



Sekadar informasi bahwa Kecamatan Bandar Pulau adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Asahan yang berada di wilayah gugusan Bukit Barisan sehingga banyak terdapat air terjun dimana salah satu yang terkenal adalah air terjun Ponot.


Sumber : Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Asahan Tahun 2013 – 2033

Esoknya, setelah berdiskusi, kami memutuskan untuk pergi esok hari tepatnya pada hari Rabu tanggal 25 Maret 2015. Kebetulan esok hari adalah jadwal survei ke Desa Tangga sehingga kami bisa sekaligus berburu batu cincin. Saya dan kawan-kawan kemudian browsing untuk mengetahui tanda-tanda suatu tempat dimana kemungkinan terdapat batu cincin dan bagaimana cara mengetahui kalau sebuah batu adalah batu cincin. Setelah merasa mendapat “pengetahuan” yang cukup kami pun melanjutkan pekerjaan masing-masing hingga jam kantor usai.

Esok hari, setelah surat tugas untuk melaksanakan survei kami dapatkan, kami pun bersiap-siap untuk berangkat. Tim survei sekaligus “Tim Pemburu Batu Cincin” adalah saya sendiri, Andi GF Siagian (Andi), Ahmad Kamrizal Syahputra (Putra), Syafrizal Hasibuan (Rizal), Safri dan Syahriza Batubara (Reza). Tepat pukul 10.00 WIB kami berangkat mengendarai mobil salah seorang Tim Pemburu yaitu Putra. Perjalanan dari kantor yang beralamat di kota Kabupaten Asahan yaitu Kisaran ke Desa Tangga diperkirakan sekitar 3 jam. Ketika sampai di Desa Bandar Selamat Kecamatan Aek Songsongan waktu menunjukkan pukul 12.15 WIB, kami pun membeli nasi bungkus untuk bekal di jalan karena rencananya kami akan makan siang di pinggir sungai di sekitar Desa Tangga. Di beberapa tempat kami berhenti karena kami melihat ada batuan yang kami curigai adalah batu cincin. Kami turun dan mengambil batu-batu tersebut. “Mantap”, kata salah seorang kawan. “Kalau belum sampai air terjun saja kita sudah dapat beberapa buah apalagi nanti di air terjun”, sambungnya.

Untuk diketahui bahwa menuju Desa Tangga kita harus melewati kabupaten tetangga yaitu Kabupaten Toba Samosir dahulu. 

Kira-kira pukul 12.45 WIB kami berhenti di pinggir jalan dengan pemandangan yang indah untuk makan siang. Sekitar 15 menit kemudian kami pun berangkat kembali. Kami sampai di Desa Tangga sekitar pukul 13.20 WIB. Setelah sowan kepada Kepala Desa Tangga untuk memberitahukan maksud kami yaitu survei kami melanjutkan perjalanan ke lokasi survei. Setelah selesai melaksanakan survei kami pun melanjutkan perjalanan ke air terjun Ponot.


Luar biasa! Itulah kalimat yang ada dalam hati kami ketika sampai di air terjun Ponot. Bagi saya sendiri ini adalah kali keempat saya ke sana sedangkan bagi kawan-kawan yang lain ini adalah yang pertama kali. Setelah berganti pakaian dengan “pakaian dinas pemburu” kami memulai perburuan mencari batu cincin.



Berbekal palu, ember, senter serta semangat yang menggelora kami mulai mendaki tangga buatan dari semen menuju air terjun Ponot. Kawan-kawan mulai berpencar untuk mencari target tujuan. Di setiap aliran air yang ada batu-batuannya kami berhenti dan memeriksa apakah ada jenis batu yang kira-kira merupakan jenis batu cincin. Setelah 1,5 jam mengobrak-abrik areal sekitar air terjun kami berkumpul kembali untuk pulang. Nampak wajah-wajah “tak bahagia” dari kawan-kawan namun setiap orang terlihat membawa beberapa batuan yang dicurigai adalah batu cincin. Batu-batu tersebut kemudian dikumpulkan dan disatukan dengan batuan yang kami dapat sewaktu di perjalanan. Kami kemudian pulang sekitar pukul 16.00 WIB.

Di tengah perjalanan, di wilyah Toba Samosir, kami berhenti untuk minum teh. Ketika berbincang-bincang dengan pemilik warung dia mengatakan bahwa memang banyak orang yang datang untuk mencari batu cincin. “Tapi Pak”, katanya, “kalaulah di sini memang ada batu cincin pasti kami dan penduduk daerah inilah yang duluan mencarinya untuk dijual”. Mendengar itu wajah kawan-kawan yang semula “tak bahagia” berubah menjadi wajah “kecewa”, termasuk saya. Setelah membayar minuman kami menuju mobil dengan semangat yang hampir mencapai titik nadir. Dalam perjalanan kami bertekad kalau dalam waktu dekat ini kami akan pergi lagi ke daerah lain yang benar-benar terdapat batu cincin di daerah itu. 

Ketika sampai kantor pukul 18.30 WIB kami langsung mengambil ember yang berisi kumpulan “batu cincin” yang kami cari tadi. Berbekal ilmu dari browsing kemarin kami mulai memeriksa “keaslian” batu-batu tersebut. Hasilnya? Tak satupun batu yang kami bawa masuk dalam kategori batu cincin. Hanya ada satu jenis batu yang berwarna putih susu yang “mungkin” merupakan batu cincin karena sewaktu kami senter ternyata tembus cahaya dan warna batu terlihat kekuningan. Wajah-wajah “kecewa” kembali berubah menjadi wajah “sumringah” namun setelah tahu bahwa batu putih susu itu ternyata banyak terdapat pada kumpulan batu kerikil untuk pekerjaan pengecoran bangunan wajah “sumringah” berubah total menjadi wajah “nelongso”! 

Perburuan batu cincin yang kami lakukan ternyata gagal total! 

Jenis-jenis batu yang kami kumpulkan dalam perburuan batu cincin
 

Selasa, 17 Maret 2015

SERIAL PENGALAMAN MASA KECIL I

"TERJEPIT DI SHOCK SEPEDA DAN ULAR GENDANG "


"Waktu ku kecil, hidupku amatlah senang. Senang dipangku-dipangku dipeluknya. Serta dicium-dicium dimanjakan. Namanya kesayangan". Itulah sepenggal lirik lagu Bunda Piara yang "dulu" sering dinyanyikan oleh anak-anak, termasuk saya. Teringat pengalaman waktu kecil, saya mencoba untuk menuliskan pengalaman-pengalaman saya waktu kecil yang masih bisa saya ingat. Diantaranya adalah seperti judul di atas.
Waktu itu, saya kelas IV Sekolah Dasar Negeri di sebuah perkebunan swasta. Nama Desanya Gaharap di Rambong Sialang. Biasanya setiap pergi dan pulang sekolah, saya, almarhum Abang saya Muhammad Iman Sentosa, semoga Allah meridhoinya, dan Kakak saya, diantar oleh Mang Dollah naik sepeda onthel (kalau dalam bahasa kami dulu namanya sepeda jindegi. Ntah kenapa namanya begitu saya gak tahu). Nah, saat peristiwa itu terjadi saya sedang di atas boncengan sepeda jindegi Mang Dollah sepulang sekolah menuju rumah. Mungkin karena saya terlalu banyak bergerak (pecicilan, istilahnya) tiba-tiba saja kaki sebelah kanan saya masuk diantara jari-jari dan shock sepeda. Bukan main sakitnya. Saya sampai menangis sambil menjerit. Mang Dollah pun kebingungan, soalnya waktu itu tak ada seorangpun yang lewat. Mang Dollah lalu mencoba menarik shock sepeda agar kaki saya terlepas dari jepitan. Tapi sekuat apapun dicoba, kaki saya tak mau lepas. Karena tetap tak ada orang yang lewat untuk dimintai tolong maka Mang Dollah bermaksud ke perkampungan terdekat berjalan kaki untuk meminta tolong. Tapi beliau tak tega meninggalkan saya sendirian. Saat saya ditanya saya hanya bisa menangis, karena saya terus menangis Mang Dollah memutuskan untuk ke perkampungan itu. Bayangkan.... Saya, anak kecil berusia 10 tahun, ditinggal sendirian di jalanan tanpa ada seorangpun yang lewat dengan sebelah kaki terjepit!
Setelah waktu yang lama menunggu, waktu itu perasaan saya seperti beberapa jam, akhirnya Mang Dollah datang dengan seorang penduduk yang membawa kunci pas. Setelah beberap baut dibuka dengan kunci pas itu akhirnya kaki saya bisa terlepas. Syukur Alhamdulillah. Setelah mengucap terima kasih dengan tersendat-sendat karena masih menangis akhirnya kami pulang. Belakangan baru saya ketahui bahwa ternyata Mang Dollah berlari sekencang-kencangnya menuju perkampungan itu dan bersama dengan seorang penduduk kampung mereka juga berlari menuju tempat dimana saya terjepit. Seingat saya, saya tidak mengucapkan terima kasih kepada Mang Dollah. Beliau sudah lama menemui Penciptanya. Semoga Allah menerimanya di sisiNya.
Pengalaman berikutnya adalah ketika saya pulang sekolah, masih di kelas dan sekolah yang sama, saat itu saya beramai-ramai dengan teman sekolah pulang berjalan kaki. Ketika lewat di jalan dekat dengan tempat saya terjepit dulu, tiba-tiba kami mendengar suara seperti gendang ditabuh. Otomatis kami serentak berhenti.

"Wah, itu pasti ular gendang", kata salah seorang dari kami. Kami kemudian melihat kesana kemari mencari asal suara itu. Tiba-tiba keluarlah seekor ular dengan bentuk badan seperti ular sawah tapi besar kepala dan ekor hampir sama. Saat dia melata di depan kami, terdengan bunyi dung...dung... Kami semua terkejut dan ketakutan hingga kami tak ada yang bergerak untuk lari. Soalnya kami semua baru pertama kali itu melihatnya. Kami menunggu ular itu lewat di depan kami, dengan posisi masih ketakutan dan jantung berdegup kencang. Ketika ular itu akhirnya lewat di depan kami dan masuk ke semak-semak tanpa dikomando kami semua berlari sekencang-kencangnya pulang ke rumah.

 
 Ular Gendang (Phyton curtus)
 
Itulah pengalaman saya waktu kecil terjepit di shock sepeda dan bertemu ular gendang. Pada kesempatan lain, akan saya ceritakan pengalaman-pengalaman saya yang lain.